Sabtu, 19 Februari 2011

Asal Usul Bahasa

Penulis: 

Prof. Dr. Slametmuljana. 

Ulasan
Perkara rumpun bahasa adalah salah satu bahasan yang menjadi pusat perhatian para ahli atau peminat bahasa. Rumpun bahasa adalah sebuah abstraksi dari konsep hubungan kekerabatan manusia. Rumpun bahasa adalah sebuah metafora; makna yang dipanggulnya tidak sekedar ada untuk dirinya sendiri, tapi, juga, untuk sesuatu yang lain, yang lebih luas sifatnya: manusia. Secara hakiki, pengelompokan bahasa-bahasa ke dalam rumpun tertentu jugalah berarti pengelompokan manusia, atau, sebutlah, pengelompokan bangsa.
Perkara rumpun bahasa juga berarti perkara hubungan asal-usul bahasa-manusia dan manusia-bahasa. Hasrat untuk mengetahui asal-usul itu sendiri memang sudah menjadi tabiat hakiki dari manusia. Siapa berasal dari mana?; apa menurunkan apa?; siapa mempengaruhi atau dipengaruhi siapa?; dan beragam pertanyaan sejenis lainnya hadir sebagai layar yang wajib disibak untuk mengetahui apa yang tersembunyi di baliknya. Dalam usaha pengelompokan bahasa-bahasa tertentu dalam rumpun, pertanyaan semacam itu pun tak bisa dielakkan. Peneliti perbandingan bahasa pasti juga harus mempelajari perbandingan masyarakat penutur bahasa yang sedang ditelitinya: ia juga wajib mencari tahu dinamika saling-singgung yang terjadi di antara para manusia-bahasa tersebut. Maka itu, tidaklah mengherankan apabila ‘bangsa’ dan ‘bahasa’ lebur menjadi anasir yang sifatnya ’sekaligus’ dalam sebuah penelitian perbandingan bahasa. Tidaklah pula mengherankan bahwa pustaka yang saya ulas kali ini harus menjuduli diri dengan nama Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara.
***
Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara ini adalah laporan dari hasil sebuah penelitian yang digarap oleh Prof. Dr. Slametmuljana, salah seorang yang menjadi bagian dari para pakar linguistik Indonesia generasi mula. Niat untuk melaksanakan penelitian yang mendasari pustaka ini muncul pada akhir tahun 1957, setelah Slametmuljana menyelesaikan penulisan buku Kaidah Bahasa Indonesia I dan II. Penelitian itu sendiri berupa usaha perbandingan bahasa Indonesia dengan beberapa bahasa di Asia Tenggara. Tujuannya, seperti yang diakui Slametmuljana dalam ‘Prakata’ bukunya itu, adalah “untuk mencari penyelesaian beberapa persoalan bahasa Indonesia”.
Pustaka ini terdiri dari tiga bagian utama: (1) Dari Forster sampai Heyerdahl, (2) Cukilan Penelitian; dan (3) Kesimpulan. Di tiga paragraf ‘pengantar’ menuju bagian pertama, Slametmuljana menyempatkan diri untuk memberi sekelumit penjelasan tentang penggunaan nama Nusantara dalam kaitannya dengan sebuah rumpun bahasa yang disebut oleh sarjana Jerman, Wilhelm von Humboldt, sebagai Melayu-Polinesia (rumpun bahasa-bahasa dari Semenanjung Melayu sampai Polinesia). Oleh sebab asal bahasa dan bangsa Melayu Polinesia ternyata masih menjadi persoalan, Slametmuljana kemudian ‘lebih suka’ menggunakan nama Nusantara atau Austronesia (dua istilah yang dianggap sama arti oleh Slametmuljana) daripada Melayu-Polinesia untuk menyebut keserumpunan bahasa yang terdapat di Kepulauan Nusantara.


Setelah penjelasan ringkas tersebut, dimulailah bagian pertama pustaka ini. Rupa-rupanya, sebab penelitian perbandingan bahasa-bahasa Nusantara sudah dilakukan sejak pertengahan abad 18 oleh para sarjana Eropa, Slametmuljana merasa penting untuk mengulas dengan ringkas hasil penelitian pendahulu itu. Mula-mula adalah John Reinhold Foster, yang di tahun 1776, lewat karangannya Voyage around the World, menyebut bahwa “kesamaan bentuk kata antara bahasa Polinesia dan bahasa Melayu berasal dari bahasa yang lebih tua daripada kedua golongan bahasa tersebut.” Klaim ini kemudian menandai dimulainya tahun-tahun penuh sumbangan buah-pikir dari para sarjana Eropa lainnya terhadap perkara keserumpunan bahasa-bahasa Nusantara. Pendapat-pendapat yang dikemukakan memang sebagian besar berupa bantahan atau sangkalan atas pendapat terdahulu. Namun, semua pendapat itu diajukan lewat sebuah penelitian serius. Teknik penelitian perbandingan inilah yang menarik untuk kita baca dan perhatikan. Ribuan kosa-kata dasar dari belasan bahkan puluhan bahasa Nusantara diperbandingkan satu-sama lain, untuk menyaring persamaan dan perbedaannya. Uniknya, kuantitas perbedaan yang lebih besar dari persamaan belum tentu berujung pada kesimpulan bahwa bahasa-bahasa tersebut tidak serumpun. Kuncinya ada pada persamaan kosa-kata dasar, yang menjadi tolok-ukur keserumpunan.
Ulasan ringkas tentang penelitian pendahulu ini berhenti di ekspedisi-penelitian seorang sarjana antropologi budaya asal Norwegia, Thor Heyerdahl, yang berusaha untuk membuktikan bahwa tidak ada kesamaan antara budaya, dan juga bahasa, Polinesia dengan Nusantara; sebuah pendapat yang diketahui bertentangan dengan hasil penelitian perbandingan bahasa Polinesia dengan Nusantara sebelah barat.
Jujur, saya merasa agak jemu membaca bagian pertama ini; mungkin karena gaya penulisannya yang, menurut selera saya, agak kaku. Tapi, ‘penderitaan’ yang saya dapat saat membaca bagian pertama buku ini dibayar lunas oleh rentetan pengetahuan yang ditawarkan Slametmuljana, lewat analisisnya, di bagian kedua. Di bagian yang diberi judul Cukilan Penelitian ini, Slametmuljana pertama-tama menerangkan apa yang ia maksud dengan istilah ‘kebudayaan asli’ dan ‘bahasa Austornesia asli’. Dalam penelitiannya, kedua istilah ini adalah kunci yang, bila dipahat dengan tepat lewat pemaknaan yang jitu, akan dapat digunakan sebagai alat untuk membuka setiap ruang jawaban untuk pertanyaan dan permasalahan yang diajukan.
Bagian kedua juga menjelaskan metode yang dipakai Slametmuljana dalam kajiannya. Ini adalah salah satu informasi penting yang menunjukkan contoh praktis dalam melaksanakan kajian linguistik perbandingan. Tentang hasil penelitiannya sendiri, Slametmuljana menggunakan hampir tiga perempat jumlah halaman bukunya untuk menuturkan hasil temuannya. Slametmuljana membandingkan beberapa bahasa di Asia Tenggara dengan bahasa-bahasa yang dikenali berada di Indonesia. Ia berangkat dari kosakata dasar yang mencakup kata bilangan, kata ganti diri, kata penunjuk, kata tanya, kata kerja, dll. Lebih lanjut, ia juga membahas tentang tautan pengaruh bahasa-bahasa di Asia Tenggara terhadap bahasa-bahasa di Indonesia lewat tata bahasa.
Secara pribadi, saya merasa dimanjakan oleh deretan pengetahuan, khususnya tentang asal-usul kata berbagai bahasa di Indonesia. Lebih dari itu, seperti yang dapat diperiksa di bagian ketiga, Kesimpulan, Slametmuljana beranjak dari ranah bahasa ke ranah budaya - maka ‘bangsa’. Ia menceritakan bagaimana kedudukan sosial, pengaruh Tiongkok Selatan, perang antar suku, dan beberapa anasir sosial-budaya lainnya mempengaruhi persebaran bahasa di Nusantara (Austronesia) dan bagaimana gambaran persinggungan ini dapat menjadi lahan tempat kita melacak atau menelusuri asal dari bahasa dan bangsa di Nusantara.
Kalau pun ada catatan kritis saya untuk pustaka ini, saya merasa bahwa Slametmuljana kurang menjelajahi dengan lebih teperinci tentang kronologi saling pengaruh-mempengaruhi bahasa-bahasa yang dibicarakannya. Juga, di beberapa bagian, masih terbersit keraguan saya akan kebenaran klaim yang dibuatnya tentang pengaruh bahasa yang satu terhadap bahasa yang lainnya. Mungkin ini terjadi karena ia tidak begitu benderang menerangkan mengapa bisa, misalnya, bahasa Munda yang mempengaruhi bahasa Jawa dalam beberapa kosakata penunjuk, dan bukan sebaliknya. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga bahasa Munda yang mempengaruhi bahasa Jawa? Kapan pengaruh itu melesap ke dalam bahasa Jawa? Saya tidak menemukan jawaban untuk keheranan saya ini. Saya juga merasa bahwa ketidaklengkapan ini terjadi karena Slametmuljana lebih memilih untuk menghadirkan ‘cukilan’ dari penelitiannya; dan bukan keseluruhan hasil penelitian.
Begitupun, kalau kita masih menganggap kajian perbandingan bahasa itu penting, terlebih untuk merumuskan, misalnya, sebuah sejarah Bahasa Indonesia yang memadai, informasi yang dikandung oleh buku ini sangat pantas dijadikan acuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar